BAB I
B A N J A R A D A T
Banjar Adat adalah suatu organisasi sosial yang dimiliki oleh setiap desa adat dibali. Karena salah satu syarat terbentuknya desa adat harus memiliki beberapa banjar adat. Banjar adat memiliki ikatan satu khayangan tiga dalam desa adat itu sendiri.
Setiap banjar adat wajib memiliki Kelian Adat (Kelian Suka Duka) sebagai pemimpin banjar adat itu sendiri. Anggota banjar adat itu sendiri merupakan warga asli diwilayah tersebut.
1.1 Perkembangan Desa adat di Bali
Lembaga tradisional adalah institusi yang sudah ada sejak zaman dahulu, dipelihara dan ditaati secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap masyarakat hukum adat di Indonesia mengenal atau pernah mengenal lembaga tradisional tersebut. Nama atau penyebutannya pun berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula sejarah timbulnya lembaga tradisional ini tentu tidaklah dalam kurun waktu yang bersamaan. Di antara lembaga-lembaga tradisional itu, ada yang telah musnah sama sekali, ada pula yang masih ajeg dan lestari yang merupakan aset bangsa yang sangat luhur. Salah satu di antara beberapa lembaga tradisional yang masih ajeg di bumi Nusantara ini, adalah desa adat Bali, yang secara tradisional dikenal oleh masyarakat Bali dengan Desa pakraman atau Desa Dresta.
Desa adat Bali, desa pakraman atau desa dresta ini memiliki sejarah sangat tua dan sudah disebutkan dalam beberapa prasasti Bali Kuno seperti prasasti Bwahan (Saka 947) di bawah raja Sri Dharmawangsa Wardhana, prasasti Bebetin (Saka 896), prasasti Sembiran bertahun Saka 987 (Oka, 1999: 2).
Pada prasasti Bwahan A (Saka 916) antara lain disebutkan: .......karaman i wingkang ranu Bwahan........yang artinya masyarakat di desa Bintang Danu yaitu Bwahan (Goris, 1954: 83). Pada masa Bali Kuno tersebut masyarakat hidup dalam satu ikatan kesatuan yang disebut wanua, yakni satu wilayah dengan luas tertentu yang merupakan satu kesatuan hukum di bawah pimpinan Sanat, Tuha-tuha dan Tulaga yang berarti kelompok. Prasasti trunyan (Saka 911)menyebutkan : .... Kumpi Dyah Sanat, sedang prasasti Srokadan (Saka 915) menyebutkan kelompok Sarwa Tulaga, dan lain-lain. setelah mantapnya pengaruh Hindu di Bali, istilah wanua dipakai untuk menyatakan wilayah atau disebut juga dengan nama thani seperti disebutkan dalam prasasi Serai II (Saka 915) yang memakai bahasa Bali Kuno. Dalam prasasti Bwahan A (Saka 916) terdapat kata karaman yang berarti satu kelompok masyarakat yang mendiami satu wilayah permukiman tertentu atau berarti pula sebagai kumpulan orang-orang tua (yang sudah berkeluarga). Dari kata karaman ini kemudian menjadi kata krama yang berarti anggota (masyarakat desa) dan pakraman (Desa pakraman) yang menunjukkan wilayah. Kata desa berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna tempat atau petunjuk (Oka, 1999: 2). Dr. I Made Titib, setelah membandingkan kata krama dengan grama di dalam bahasa Sanskerta yang mengandung arti desa (village) menyatakan bahwa kata krama dalam bahasa Bali Kuno tersebut rupanya berasal dari perubahan kata grama tersebut, dan kini pun dalam bahasa Hindi, grama artinya desa (Wawancara, 11 Agustus, 1999).
Ada pun yang dimaksud dengan adat adalah istilah yang pada mulanya berasal dari bahasa Arab yang menurut ahli hukum adat bernama Van Vollenhoven berarti kebiasaan atau adat-kebiasaan (Purwita,1984:4). Selanjutnya, istilah desa adat yang sekarang dikenal, pada mulanya dikenal dengan sebutan desa saja. Akan tetapi, dengan adanya pembentukan desa yang lain oleh pemerintah Belanda, yang mempunyai tugas khusus dalam penanganan administrasi pemerintah di tingkat bawah, terjadilah kerancuan pengertian desa. Oleh karena itu, untuk memberikan pembedaan yang tegas, maka desa yang berbeda fungsi dan tugasnya tersebut diberi nama masing-masing desa adat dan desa dinas atau desa administratif. Istilah ini secara tertulis pertama kali ditemukan dalam buku I Gusti Putu Raka, tahun 1955 (Pitana,1994:139).
Batasan tentang Desa adat secara resmi (formal) telah di tuangkan dalam pasal 1 (e). Peraturan Daerah Bali No. 06 Tahun 1986 yang manyatakan bahwa desa adat adalah :
"Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri".
Demikian antara beberapa istilah atau pengertian yang perlu kita pahami bersama mengingat telah terjadi jalinan yang demikian padat antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu sebagai jiwa dari kebudayaan daerah ini. Jalinan yang demikian baik hendaknya tetap terpelihara jangan sampai dirobek atau diputuskan oleh umat sendiri karena tidak memahami apa yang kita miliki.
Desa adat di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses pembangunan. Sebagai organisasi pemerintahan, desa adat merupakan desa otonom asli, mengendalikan roda pemerintahan sendiri di dalam palemahan (wilayah)nya yang tetap hidup dan kedudukannya diakui di dalam Negara Republik Indonesia, sebagai perwujudan budaya bangsa yang perlu diayomi dan dilestarikan.
Desa adat sebagai masyarakat yang mempunyai tata susunan asli beserta banjar-banjar adat, eksistensinya diakui secara hukum berdasarkan UUD 1945 (pasal 18), dan UU Pemerintahan Desa (UU No.5 Tahun l979) yang telah dicabut dan digantikan dengan UU No.22 Tahun 1999 begitu pula dengan Permendagri No.3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian dan pengembangan adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di daerah. Pengakuan terhadap desa adat berarti pula pengakuan terhadap lembaga-lembaga adat yang ditetapkan. Keberadaan lembaga-lembaga adat tersebut secara sosiologis masih dipelihara oleh masyarakat desa (krama) adat.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, eksisitensi desa adat di Bali, Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali berusaha memelihara keajegan Desa adat Bali dengan menetapkan Peraturan daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali, tanggal 25 Juni 1986. Sebelumnya, Gubernur Kepala Daerah Propinsi Tingkat I Bali mengeluarkan sebuah Keputusan Nomor: 18/Kesra II /C/119/1979, tanggal 21 Maret 1979 tentang Majelis Pembina Lembaga Adat, sebagai sebuah badan yang statusnya semi pemerintah yang mempunyai tugas, fungsi dan wewenang antara lain sebagai badan pertimbangan, saran, usul mengenai permasalahan adat kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah dan dalam penyelesaian konflik adat yang timbul maupun kepada lembaga adat di dalam seluruh aspeknya.
2. Peranan dan Fungsi Desa adat
Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupannya yang bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kelompok dan individu sebagai warga masyarakat. Warga masyarakat satu dengan yang lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar warga, masyarakat berusaha menyelesaikannya secara musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada asas kepatutan melalui lembaga sangkepan. Penyelesaian perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum sangkepan tersebut berfungsi untuk mengembalikan masyarakat ke dalam suasana kehidupan yang rukun dan damai (harmonis).
Suasana kehidupan harmonis, pada masyarakat tradisional yang tersebut, kini tampaknya telah berubah karena pengaruh modernisasi, industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah masyarakat mengalami proses globalisasi. Kehidupan non agraris dan globalisasi tersebut telah mengubah masyarakat homogen menjadi masyarakat majemuk (plural) yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan yang hetrogen.
Suasana demikian, mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat dapat juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok dan hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan kehidupan dunia modern.
Kelompok-kelompok sosial baru tersebut umumnya menganut nilai dan norma serta kebiasaan yang berbeda dengan nilai, norma, serta kebiasaan masyarakat tradisional. Kelompok-kelompok tsb. juga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana demikian, masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai suatu kesatuan yang utuh melainkan terdiri dari bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang lebih menonjol dari masyarakat secara keseluruhan.
Sebelum keadaan masyarakat seperti sekarang ini, konflik yang terjadi umumnya dapat diselesaikan secara damai oleh lembaga penyelesaian konflik, baik ditingkat keluarga/kerabat maupun di tingkat masyarakat. Konflik-konflik yang timbul dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat (konsensus) ataupun perundingan (negosiasi). Cara penyelesaian demikian benar-benar dapat mengakhiri suasana konflik antara kedua belah pihak yang berselisih, sehingga mereka dapat rukun kembali. Berbeda keadaannya dengan situasi sekarang, konflik yang terjadi di masyarakat sering kali tidak dapat diselesaiakan berdasarkan prosedur dan kebiasaan yang berlaku. Kalaupun ada upaya penyelesaian terhadap konflik yang terjadi namun sering kali penyelesaiannya dirasakan tidak memuaskan para pihak sehingga konflik tetap berlangsung berlarut-larut. Ini berarti cara-cara penyelesaian konflik adat mengalami tantangan.
Desa adat menampakkan dirinya sebagai suatu organisasi kemasyarakatn dan sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang berdiri sendiri di wilayah Kecamatan. Desa adat adalah desa yang otonom sehingga mempunyai kewenangan untuk mengurus dan menyelenggarakan kehidupan rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangan lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial religious dan sosial kemasyarakatan. Desa adat memiliki struktur kepengurusan yang pada umumnya disebut Prajuru dan dibeberapa desa di pegunungan umumnya disebut Dulu atau paduluan dan berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya secara maksimal, terutama sekali menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia (terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa aman dan nyaman).
Tentang Prajuru atau Dulu/Paduluan ini umumnya dipilih secara demokratis (musyawarah mufakat) oleh masing-masing Krama, namun di beberapa desa adat yang lebih tua, pengurus tersebut ditugaskan secara bergiliran dari yang lebih tua, digantikan nantinya oleh yang lebih muda, dilihat dari ketika mereka ikut sebagai Sekehe Taruna atau Matruna (Truna Nyoman).
Unsur-unsur Prajuru Desa adatpun bervariasi, dengan pemimpin tertinggi umumnya disebut Bendesa atau Kelihan Desa , sedang wakil, sekretaris dan pembantu disebut dengan berbagai nama, seperti Patajuh (wakil), Panyarikan (sekretaris), Kasinoman (pembantu/juru arah) dan Sedahan untuk bendahara.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi Desa adat dilengkapi dengan kekuasaan mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat dipertemukan dalam suasana yang menjamin rasa aman bagi setiap warganya. Mengenai kekuasaan Desa adat dapat dibedakan menjadi 3 macam kekuasaan, yaitu:
a. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan yang mengikat seluruh warganya, guna menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dan disepakati dalam rapat desa (paruman/sangkepan), seperti upaya menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat. Mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama warga, dengan lingkungan alam dan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai perwujudan ajaran Trihita Karana.
b. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat keagamaan, sosial budaya, ekonomi dan hankam, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu, mengembangkan kebudayaa, memelihara dan melestarikan adat-istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa, mengembangkan ekonomi kerakyatan, memelihara kelestraian Kahyangan Tiga, mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama dalam menghadapi kondisi tertentu.
c. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa, kasus atau konflik, karena berbagai hal seperti kepentingan yang bertentangan, tidakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan, perbuatan yang menggangu ketertiban warga, dll., yang umumnya ditempuh melalui perdamaian maupun sanski adat (I Made Widnyana, 1999: 4).
Sesuai dengan hakekat pengertian otonomi desa sebagai kekuasaan untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, maka jelaslah bagi kita bahwa pelaksanaan kekuasaan seperti tersebut berlaku di wilayah desa yang bersangkutan. Selain mengikuti asas personalitet, khususnya terhadap warga desa (pangrep), yang karena suatu hal berada di luar desa nya, namun masih tetap menjalin ikatan dengan desa asalnya.
Berkenaan dengan setiap warga desa adat wajib menjunjung kekuasaan yang telah disepakati dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtra dan tentram seperti yang dicita-citakan, maka bentuk konkrit otonomi Desa adat dapat dilihat pada:
a. Bendesa (Kelihan) Desa adat. Dalam sturuktur pengurus Desa adat, Bendesa atau Kelihan Desa memiliki posisi sentral dan utama, sebagai orang yang dituakan oleh masyarakat (primus interpares). Dengan demikian Bendesa (Kelihan) Desa adat memiliki kharisma atau wibawa di lingkungan desa nya.
b. Paruman (Sangkepan) Desa adat. Paruman atau Sangkepan Desa adat adalah bentuk musyawarah yang sangat demokratis (demokrasi asli), karena setiap Krama (warga) Desa adat memiliki hak suara yang sama. Paruman umumnya membahas hal-hal yang dianggap perlu dan biasa diselenggarakan secara rutin (nityakala) atau juga insidental (padgatakala).
c. Awig-awig Desa adat. Awig-awig adalah aturan-aturan yang dibuat oleh Krama Desa melalui Paruman Desa adat dan umumnya banyak yang tidak disuratkan. Namun karena perkembangan, dewasa ini telah berhasil disuratkan awig-awig tersebut sebagai pedoman bagi pengurus Desa adat dalam melaksanakan kewajibannya maupun bagi warga, dan di dalam awig-awig tersebut kita jumpai sanksi-sanksi bagi warga desa yang melanggarnya. Di dalam awig-awig desa ini dapat dilihat perbuatan atau tindakan yang dilarang serta sanksi-sanksinya baik sanksi itu dijatuhkan kepada warga atau keluarganya atau dibebankan kepada masyarakat desa sendiri (I Made Widnyana, 1995).
Demikian, dalam operasionalnya, Desa adat senantiasa mandiri sebagai wujud dari otonomi, karena tidak ada intervensi darimanapun yang dapat dibenarkan dalam rangka mewujudkan kesejahtraan warganya.
Desa adat dengan Banjar-Banjarnya adalah lembaga masyarakat umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara agama yang berlangsung di Desa adat seperti upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-lain, Agama Hindu menjiwai dan meresapi segala kegiatan Krama Desa . (Kepala Bidang Bimas Hindu, Kanwil Depag Prop Bali , 1978:5)
Demikian pula bila kita mengkaji ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis antara manusia yang kemudian kita kenal dengan Tri Hita Karana, maka jelaslah Desa adat tidak saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan agama dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Diwujudkan dengan mendirikan pura Kahyangan Tiga atau Kahyangan-Kahyangan Desa . Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui aturan yang berlaku sebagai anggota Desa adat atau Krama Desa dan membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa adat yakni dengan pemeliharaan bersama desa , fasilitas desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin. Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa adat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi Desa adat.
Terhadap adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan di Desa adat kemudian di Bali kita mengenal adigium yang merupakan azas dari kebersamaan, yakni : Salulung Sabyayantaka ( sa + luhung + luhung sa + byaya (sa) + antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam istilah Bali di sebut Beriuk Seguluk artinya sehidup senasib dan sepenanggungan. Atas dasar azas kebersamaan ini hendaknya setiap anggota Desa adat merupakan bagian dari keluarga besar Desa adat termasuk masalah kesejahteraan warganya. Bila hal ini dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak terjadi warga umat Hindu sampai dipelihara di panti-panti asuhan yang tidak bernafaskan Hindu.
Memperhatikan landasan dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Hindu, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sejati, maka fungsi Desa adat yang paling menonjol bagi warga atau Krama-nya, adalah untuk bersama-sama meringankan beban kehidupan baik suka dan duka (dalam Pasuka-dukan Desa )
Dengan demikian fungsi atau peranan Prajuru Desa adat dalam pelaksanaan agama Hindu secara lebih detail dapat juga dirinci sebagai berikut :
a. Mengatur hubungan Krama Desa dengan Kahyangan.
b. Mengatur pelaksanaan Pañca Yajña dalam masyarakat.
c. Mengatur penguasaan Setra.
d. Mengatur hubungan antar sesama Krama Desa .
e. Mengurusi tanah, sawah dan barang-barang lainya milik Desa adat
f. Menetapkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum Adat (awig-awig).
g. Menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian masyarakat.
h. Memberikan perlindungan hukum bagi Krama Desa
i. Mengikat persatuan dan kesatuan antar sesama Krama Desa dengan cara gotong royong dalam bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan keagamaan.
j. Menjunjung dan mensukseskan program pemerintah dalam memajukan desa , pendidikan dan perekonomian (MPLA Dati I Bali, 1989/1990 : 24 - 25 )
Bila Desa adat mampu melaksanakan fungsi dan peranannya, maka tujuan Desa adat untuk mewujudkan desa yang Sukertagama (masyarakat tentram karena melaksanakan ajaran agama), Tata Tentram Kertaraharja (tentram dan sejahtra) akan dapat diwujudkan untuk itu para Prajuru Desa hendaknya senantiasa mencari upaya dengan mengkaji potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa adat termasuk sumberdaya manusia (SMD)nya untuk dapat di kembangkan sebaik-baikmya. Sabha-Sabha Desa (Musywarah Desa ) atau Sangkepan (sidang-sidang) dan Paruman Desa (rapat desa ) hendaknya diadakan secara rutin dengan memasukkan teknologi dan manajemen modern dalam mengurus Desa adat adalah sangat mutlak, sepanjang management modern itu mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu.
BAB II B A N J A R D I N A S
Banjar Dinas adalah suatu organisasi sosial yang boleh atau tidak dimiliki oleh setiap desa adat (tidak diwajibkan) di Bali. Banjar dinas hanya mengikuti kegiatan atau peraturan dinas di dalam desa adat tersebut, seperti pengurusan KTP, Domisili atau hal dinas lainnya. Anggota banjar dinas merupakan orang – orang yang tidak asli dari desa adat tersebut. Angoota banjar dinas berasal dari orang – orang luar yang merantau atau sudah lama tinggal di dalam desa adat tersebut.
Proses globalisasi telah membuka masyarakat Bali, termasuk masyarakat pedesaan ke dalam pergaulan luas pada pergaulan dunia. Hal ini ternyata telah menimbulkan banyak tantangan bagi masyarakat adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi tersebut antara lain telah terjadinya perubahan nilai orientasi warga masyarakat dalam bersikap dan bertindak, keefektifan awig-awig sebagai alat kontrol sosial berkurang, keputusan-keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik di masyarakat yang dahulu umumnya ditaati kini tidak jarang diabaikan karena dipandang tidak memuaskan. Penggunaan tanah dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan tanah yang dahulu jarang menimbulkan konflik, sekarang tanah menjadi sumber konflik di masyarakat.
Setelah masyarakat bergaul secara luas, warga masyarakat tidak saja bergaul dengan sesama warga masyarakat setempat, tetapi juga dengan masyarakat kota, luar daerah dan bahkan juga dengan masyarakat internasional, terutama dalam kaitannya dengan pariwisata. Dalam pergaulan demikian, hubungan yang sangat akrab mulai melonggar, sifat personal berubah ke impersonal, nilai kebersamaman yang sebelumnya melandasi pergaulan antar wargapun melemah dan berubah ke arah individual, nilai tolong-menolong dan gotong-royong yang sebelumnya mewarnai segala macam aktivitas dalam masyarakat kini telah bergeser ke arah komersial dengaan perhitungan untung rugi. Dalam bersikap dan bertindak, warga mamsyarakat mengikuti norma dan orientasi nilai yang berbeda-beda. Selain itu warga masyarakat juga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda terhadap peruntukan tanah.
Kebersamaan dan kesatuan di dalam masyarakat tercermin pula dalam ketaatan warga masyarakat terhadap awig-awig (praturan) yang mereka tetapkan bersama dan dalam hal bila terjadi penyimpangan/pelanggaran terhadapnya, umumnya awig-awig sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan efektif. Selain itu, segala keputusan yang diambil masyarakat dalam hal terjadinya konflik umumnya ditaati demi kebersamaan dan kesatuan dalam masyarakat. Peruntukkan tanah dan perolehan hak atas tanah di masyarakat diatur juga menurut adat setempat berdasarkan otonomi asli yang dimiliki oleh masyarakat Desa adat. Oleh karena peruntukkan tanah umumnya homogen untuk tanah pertanian dan hanya bagi anggota masyarakat setempat umumnya jarang menimbulkan konflik dan kalaupun ada konflik umumnya dapat ditangani melalui lembaga penyelesaian konflik.